Saturday, January 15, 2011

Hukum menggugurkan kandungan

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…

Pengguguran Kandungan di Atas 4 Bulan

Pengguguran kandungan setelah ditiupkannya ruh ke dalam janin (usia 4
bulan kandungan) merupakan tindak kejahatan yang diharamkan. Hal ini
disebabkan, orang yang melakukan pengguguran janin di atas 4 bulan
sama saja hukumnya dengan menghilangkan nyawa yang ada pada jasad yang
jelas-jelas menunjukkan adanya tanda kehidupan.  Rasulullah Saw.
bersabda, "Sesungguhnya setiap orang dari kalian dikumpulkan dalam
penciptaannya ketika berada di dalam perut ibunya selama empat puluh
hari, kemudian menjadi 'alaqah (zigot) selama itu pula kemudian
menjadi mudlghah (segumpal daging), selama itu pula kemudian Allah
mengirim malaikat yang diperintahkan empat ketetapan dan dikatakan
kepadanya, tulislah amalnya, rezekinya, ajalnya dan sengsara dan
bahagianya lalu ditiupkan ruh kepadanya. Dan sungguh seseorang dari
kalian akan ada yang beramal hingga dirinya berada dekat dengan surga
kecuali sejengkal saja lalu dia didahului oleh catatan (ketetapan
taqdir) hingga dia beramal dengan amalan penghuni neraka dan ada juga
seseorang yang beramal hingga dirinya berada dekat dengan neraka
kecuali sejengkal saja lalu dia didahului oleh catatan (ketetapan
taqdir) hingga dia beramal dengan amalan penghuni surga". (HR.
Bukhârî).

Maka dari itu, dalam fikih jinayah apabila janin ini digugurkan dan
keluar dari rahim sang ibu dalam kondisi hidup maka pelaku pengguguran
dikenakan diyat. Hal ini berlaku jika bayi yang diaborsi keluar dalam
kondisi hidup. Akan tetapi apabila bayi yang keluar tadi dalam kondisi
tidak bernyawa maka diyatnya lebih rendah daripada jika janin tersebut
dalam kondisi hidup. Hal ini sebagaimana yang disepakati oleh para
ulama mazhab. (Mausu’ah Jamal Abdun Nasir Fi Al-Fiqh Al-Islami, jil
3/158).

Namun demikian, apabila kondisi ibu dikhawatirkan akan meninggal jika
janin tidak digugurkan maka kaidah syar’iyyah menganjurkan akhaffudh
dhararain (mengambil resiko yang paling ringan). Tantunya, hal ini
setelah mendapatkan berbagai diagnosa dari para medis terpercaya serta
tidak ada cara lain untuk menyelamatkan kedua-duanya. (lihat
An-Nadawi, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah hal. 257—350).

Jika memang demikian kondisinya, maka pengguguran kandungan adalah hal
yang harus dilakukan, dan yang diprioritaskan adalah sang ibu.
Ketentuan seperti ini tidak boleh dibalik, sebab sang ibu adalah
al-ashl (pokok) yang kehidupannya terpisah dari janinnya dan
jelas-jelas hidup. Di samping itu, sang ibu sendiri juga mempunyai hak
dan kewajiban selagi ia hidup. Maka, adalah hal yang tidak logis jika
seseorang memprioritaskan janin yang belum tentu hidup/selamat dengan
mengorbankan ibu yang jelas-jelas hidup.

Pengguguran Kandungan di Bawah 4 Bulan

Mengenai masalah ini, para ulama memang berbeda pendapat. Sebagian
menyatakan boleh. Mereka mengasumsikan bahwa pada usia kandungan di
bawah 4 bulan, ruh belum ditiupkan. Dengan demikian, janin itu
bukanlah makhluk bernyawa dan melakukan pengguguran janin tersebut
bukanlah tindakan pembunuhan atau jinayah.

Berbeda dengan pendapat di atas, para ulama yang lain tidak
membenarkan tindakan aborsi tersebut. Mereka menghukumi haram, tetapi
ada pula yang menyatakan hanya makruh.

Berdasarkan analisa yang disampaikan oleh Imam Al-Ghazali, pada masa
di bawah 4 bulan fase pertumbuhan janin akan terus berkembang hingga
janin siap menerima ruh. Nah, apabila ada usaha yang pengerusakan pada
pertumbuhan janin tersebut, ini sama halnya melakukan tindak jinayah
terhadap sesuatu yang telah wujud, meskipun dalam artian janin belum
sempurna menjadi makhluk. (Ihya` 2/51).

Secara lebih rinci, tulisan Muhammad Naim Yasin turut mendukung
pernyataan Al-Ghazali. Ia menyatakan, tahap pertama dari fase
kehamilan adalah pembuahan hingga ia menjadi janin dan siap meneriam
tiupan ruh, dan barangsiapa yang merusak proses tersebut adalah
perbuatan jinayat. Jika memang demikian, ketika kemudian fase janin
mencapai ‘alaqah kemudian mudhghah tentunya kadar jinayatnya semakin
berat. Lantas, kadar jinayah ini akan semakin berat apabila bayi telah
menerima tiupan ruh dan seterusnya hingga bayi benar-benar terpisah
dari rahim dalam kondisi hidup. (Ahkam Al-Ijhad, Majallah Syari’ah Wa
Ad-Dirasat Al-Islamiyyah, Universitas Kuwait. 1989.)

Syaikhul Azhar, Mahmod Syaltut, dalam Fatawa-nya, memberikan analisa
terkait pangkal perbedaan para ulama di atas. Menurutnya, para ulama
itu berbeda pendapat dalam masalah ini disebabkan mereka yang
membenarkan pengguguran tidak memahami fase-fase kahamilan secara
rinci. Dengan kata lain, keharaman melakukan aborsi hanya berlaku
ketika janin sudah sempurna kehidupan dan wujudnya.  Seandainya mereka
memahami fase kehamilan atau pertumbuhan janin niscaya perbedaan ini
tidak akan terjadi, dan mereka pun akan mengharamkan aborsi dalam
setiap fase kehamilan. (Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah, hal. 289—292).

Fatwa Majma’ Fiqh Al-Islami

Mengenai aborsi pada usia pra 4 bulan, Sidang Fatwa memutuskan:

“Apabila kondisi janin telah diketahui secara meyakinkan—berdasarkan
diagnosa para medis dan dengan berbagai peralatan yang memadai—bahwa
nantinya janin akan menderita cacat permanen atau ketika lahir nanti
akan membawa kesengsaraan bagi bayi dan keluarganya, maka aborsi boleh
dilakukan dengan persetujuan orang tua.” (Majma’ Fiqh, Sidang
ke-10—13)

Saya kurang setuju dengan fatwa tersebut. Ada hal yang rancu dalam
fatwa tersebut. Pertama, kondisi cacat atau kesengsaraan bawaan itu
adalah di luar kehendak manusia. Allah Swt. berfirman, “Dan Tuhanmu
menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. sekali-kali tidak
ada pilihan bagi mereka.” (Al-Qashash: 68). Dalam ayat lain, “Dialah
yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya.” (Ali
Imran : 6). Berdasarkan dua ayat ini, kondisi cacat atau apa pun yang
terjadi pada janin  di dalam rahim adalah kehendak Allah Swt., lantas
apakah manusia bisa atau boleh menghindarinya?

Kedua, masalah dalam rahim adalah sebuah misteri yang amat besar.
Boleh jadi seseorang mengetahui kondisi janin dengan menggunakan
berbagai alat yang canggih. Permsalahannya, kalaupun toh janin telah
diketahui dalam kondisi cacat sejak berada pada fase kendungan
tertentu, apakah hal yang mustahil jika Allah
membentuknya/mengubahnya—dengan kehendak-Nya—pada fase kahamilan
selanjutnya?


Jawaban Kasus

Deskripsi kasus:
Saudara-saudaraku di Daarut-tauhiid, ada seorang teman saya yang
menanyakan bagaimanakah hukumnya menggugurkan kandungan saat usia
kandungan sebelum 4 bulan. Keduanya bekerja di dua daerah yang berbeda
(di sumatera dan jawa), dimana sangat tidak mungkin untuk bisa pindah
kerja di satu kota yang sama. Sedang sang istri masih memiliki
tanggungan untuk menyekolahkan adiknya. Keduanya masih belum siap
untuk memiliki seorang anak, karena akan sangat sulit merawat anak
tersebut dikarenakan tidak tinggal bersama di kota yang sama.

Jawaban:

Alasan melakukan aborsi adalah sebagai berikut:
1.    Suami-istri berada di tempat yang terpisah.
2.    Menanggung biaya sekolah adik.
3.    Belum siap mempunyai anak, karena takut tidak bisa merawatnya.


Maaf! kalau boleh saya simpulkan, alasan-alasan di atas semuanya
adalah problem kondisi ekonomi. Saya kira apabila perekonomian
keduanya/salah satunya mapan niscaya mereka tidak akan berpikir untuk
melakukan aborsi. Jarak yang terpisah, biaya sekolah adik, belum siap
mempunyai anak semuanya sangat erat kaitannya dengan kondisi ekonomi.
Andaikata salah satu pasutri mapan secara ekonomi, jarak yang terpisah
dapat disatukan, dan aborsi pun tidak akan terpikirkan. Demikian juga
adik yang masih sekolah, andai kata ada gaji lebih, tentu aborsi tidak
akan terpikirkan.

Nah sekarang, tinggal kesiapan punya anak. Saya kok heran, justru
orang nikah agar punya keturunan, lantas mengapa kok belum siap punya
anak? Kalau belum siap punya anak, mengapa siap nikah? Banyak orang
yang mengharapkan dikaruniai anak, namun mereka tidak mendapatkannya.
Seharusnya, orang tersebut patut bersyukur bahwa dirinya mengandung.
Maaf, saya justru khawatir apa ini yang dibilang kufur nikmat?

Kembali pada permasalahan. Apakah motif seperti ini yang membolehkan
aborsi sebelum  4 bulan? Jawabnya adalah: Bukan.

Allah Swt. berfirman:
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan,
Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka. (Al-An’am: 151).

Dalam ayat lain:
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
Kami-lah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (Al-Isra`:
31).

Seorang perempuan Bani Ghamid dari daerah Al-Azd pernah menghadap
Rasulullah Saw. dan mengabarkan bahwa dirinya hamil dari perbuatan
zina.

“Ya  Rasulullah, sucikanlah diriku (dengan hukukan rajam)!”
“Apa-apaan kamu ini, bertaubatlah dan mohon Ampun kepada Allah Swt.!”
“Mungkin Baginda akan menolak saya seperti Baginda menolak Ma’iz bin Malik.”
“Memangnya kamu ini kenapa?”
“Anak yang kukandung ini adalah buah dari perbuatan zina.”
“Kamu sudah bersuami?”
“Benar, ya  Rasulullah !”
“Kalau begitu, kami tidak merajammu sebelum engkau melahirkan anakmu.”

Kemudian, salah seorang Sahabat Anshar menanggungnya hingga ia
melahirkan anaknya. Maka Sahabat itu pun menghadap  Rasulullah Saw.
dan melaporkan bahwa wanita itu telah melahirkan.  Rasulullah Saw.
bersabda, “Kami tidak akan merajamnya sedangkan bayinya itu tidak ada
yang menyusuinya.”

Maka seorang Sahabat Anshar berdiri dan berkata, “Ya  Rasulullah Saw.,
biarkan saya yang menangungg nafkah penyusuan anak bayinya.”

Akhirnya,  Rasulullah pun merajam wanita tersebut.
(Lihat riwayat hadis ini selengkapnya dalam Sunan Al-Baihaqi, hadis
no. 16705 bab Hudud).

Jika anak dari perbuatan zina masih diberikan hak untuk dilahirkan ke
dunia, bagaimana halnya dengan anak hasil pernikahan yang sah?

Wallahu A’lam



http://tinyurl.com/3mtnbjw
http://tinyurl.com/3kanjq6